foto

foto

ANIMASI

blog saya

Jumat, 30 Mei 2014

HADITS KEEMPAT BELAS
Larangan Berzina, Membunuh dan Murtad
 عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ : الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
[رواه البخاري ومسلم]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan bahwa saya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) adalah utusan Allah kecuali dengan tiga sebab : Orang tua yang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari jamaahnya.
(Riwayat Bukhori dan Muslim)
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
  1. Tidak boleh menumpahkan darah kaum muslimin kecuali dengan tiga sebab, yaitu : zina muhshon (orang yang sudah menikah), membunuh manusia dengan sengaja dan meninggalkan agamanya (murtad) berpisah dari jamaah kaum muslimin.
  2. Islam sangat menjaga kehormatan, nyawa dan agama dengan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka yang mengganggunya seperti dengan melakukan zina, pembunuhan dan murtad.
  3. Sesungguhnya agama yang disepakati adalah yang dipegang oleh jamaah kaum muslimin, maka wajib dijaga dan tidak boleh keluar darinya.
  4. Hukum pidana dalam Islam sangat keras, hal itu bertujuan untuk mencegah (preventif) dan melindungi.
  5. Pendidikan bagi masyarakat untuk takut kepada Allah ta’ala dan selalu merasa terawasi oleh-Nya dan keadaan tersembunyi atau terbuka sebelum dilaksanakannya hukuman.
  6. Hadits diatas menunjukkan pentingnya menjaga kehormatan dan kesucian.
  7. Dalam hadits tersebut merupakan ancaman bagi siapa yang membunuh manusia yang diharamkan oleh Allah ta’ala.


RESUME HADITS MAUDU
Resume Hadits Maudu dan Penerimaannya
Dewasa ini terlah kita ketahui bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang pertama (pokok). Dan itu pun telah diakui oleh umat Islam di seluruh dunia, di dalam Al-Qur’an banyak mengandung ayat-ayat yang bersifat mujmal, mutlaq dan ‘am. Oleh karena itu kehadiran Al-Hadits berfungsi untuk tabyin wataudhih trehadap ayat-ayat tersebut. Tanpa kehadiran Al-Hadis, umat Islam tidak mungkin mampu menangkap dan merealisasikan hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an.
Al-Hadis itu sendiri telah disepakati oleh seluruh umat Islam, baik ahli naql atau ahli aql membenarkan bahwa Al-Hadis juga merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Quran. Kedua pokok hukum tersebut merupakan sumber hukum bagi umat Islam di seluruh dunia.
Walaupun Al-Hadis mempunyai fungsi dan kedudukan yang besar, namun Al-Hadis tidak sebagai mana Al-Qur’an yang secara resmi telah ditulis. Al-Hadis baru ditulis dan dibukukan pada masa khalifah Umar Abdul Aziz (abad kedua Hijriah) melalui perintahnya kepada Gubernur dan para Ulama.
Kesenjangan waktu antara sepeninggalan Rasulullah SAW dengan waktu pembukuan hadis hampir 1 abad. Inilah yang menyebabkan timbulnya Hadis Maudu yang dimanfaatkan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu untuk membuat dan mengatakan sesuatu kemudian menisbatkannya kepada Rasulullah SAW dengan alasan yang dibuat-buat. Penisbatan sesuatu kepada Rasulullah SAW.
A.    Pengertian Hadis Maudu
Al-Maudu adlah isim maful yang menurut bahasa meletakan atau menyimpan, mengada-ada atau membuat-buat, dan ditinggalkan. Sedangkan menurut isltilah menurut ahli hadis yaitu hadis yang diciptakan oleh seseorang (pendusta) yang di sandarkan atau dinisbatkan kepda Rasulullah SAW secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak sengaja. Padahal beliau tidak mengatakan dan tidak memperbuatnya. Sebagian  mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis maudu ialah hadis yang dibuat-buat.
Dari pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa hadis maudu adalah hadis yang tidak bersumber dari Rasulullah dan bukan merupakan hadis Rasul, namun hadis tersebut disandarkan kepada Rasul.

B.    Asal Mula Terjadinya Hadis Maudu
Pertama : Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya hadis maudu ini atau pemalsuan hadis. Namun sejak sepeninggalan Rasulullah SAW dengan dibukukannya hadis, jenjang waktunya hampir 1 abad. Dari sinilah mulai muncul pemalsuan hadis atau yang disebut hadis maudu. Namun menurut Ahmad Amin bahwa hadis maudu terjadi sejak masa Rasulullah masih hidup ketika munculnya golongan syi’ah dan golongan inilah yang pertama membuat hadis palsu.
Kedua : Usaha kaum Zindiq yang membenci Islam dan ingin membinasakan umat Islam. Karena mereka tidak bias memalsukan Al-Qur’an sehingga mereka memilih untuk membuat hadis palsu untuk tercapainya tujuan mereka.
Ketiga : Sipat fanatic buta terhadap bangsa, suku, bahasa, negeri dan pimpinan. Salah satu tujuan membuat hadis palsu adalah adanya sifat ego fanatic buta serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok dan sebagainya. Diantara kepanatikannya itu ialah golongan Ash-Su’ubiyag yang fanatic terhadap bahasa fersi.
Kempat : Mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasihat. Kelompok ini melakukan pemalsuan hadis demi memperoleh simpati dari pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya.
Kelima : Perselisihan antara Fiqih dan Kalam. Muculnya hadis palsu dalam hal ini karena mereka ingin menguatkan madzhabnya masing-masing karena sifat fanatiknya terhadap madzhabnya.
Keenam : Membangkitkan gairah beribadah, tanpa mengerti apa yang dilakukan, banyak di antara ulama yang membuat hadis palsu dengan asumsi bahwa usahanya itu merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah dan menjunjung tinggi agama-Nya.
Ketujuh : Menjilat penguasa, hadis palsu muncul ketika Giyas menambahkan kata aujunaahin dalam akhir hadis yang disabdakan oleh Rasulullah.

C.    Motif Pembuatan Hadis Palsu (Maudu)
1.    Ada yang sengaja
2.    Ada yang tidak sengaja merusak agama
3.    Ada yang karena merasa yakin bahwa membuat hadis palsu diperbolehkan
4.    Ada yang karena tidak tahu gila dirinya membuat hadis palsu.
Tujuan mereka membuat hadis palsu ada yang bersifat  dan bernilai positif dan ada yang bersifat dan mempunyai nilai negative.
D.    Kaidah-kaidah untuk Mengetahui Hadis Maudu
1.    Atas dasar pengakuan para pembuat hadis palsu
2.    Maknanya usak
3.    Matannya bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertentangan dengan Al-Qur’an atau hadis yang lebih kuat atau ijma.
4.    Matannya menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang sangat besar atas perkara kecil.
5.    Perawinya dikenal seorang pendusta.
E.    Contoh-contoh Hadis Maudu
1.    “Pembicaraan di masjid memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”
2.    “Cinta tanah air adalah sebagian daripada iman.”
3.    “Barangsiapa yang menunaikan haji kemudian tidak berziarah kepadaku, maka dia telah bersikap kasar kepadaku.”

RESUME
PENERIMAAN dan PERIWAYATAN HADIS

A.    PENERIMAAN HADIS
Dalam istilah ilmu hadis terdapat istilah yang disebut dengan al-Tahamul (menerima dan mendengar suatu periwayat hadis dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode tertentu), dan al-ada (menyampaikan atau meriwayatan suatu hadis kepada orang lain).

1.    Penerimaan Periwayatan Hadis oleh Anak-anak, Orang Tua, Orang Kafir dan Orang Fasik.
Jumhur ulama ahli hadis berpendapat bahwa penerimaan periwayatan suatu hadis oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf) dianggap sah apabila periwayatan hadis tersebut disampaikan kepada orang lain ketika ia sudah mukalaf.
Al-Qadi Iyad menetapkan bahwa batas minimal usia anak diperbolehkan bertakamul adlaah lima tahun, karena pada usia ini anak sudah mampu menghapalkan sesuatu yang didengar dan mengingat-ingat hapalannya. Pendapat ini didasarka pada hadis riwayat Bukhari dan Mahmud bin Ar-Ruba:



Artinya : “Aku ingat ketika Nabi Muhammad SAW meludahkan air yang dambilnya dari timba ke mukaku, sedangkan pada saat itu aku berusia lima tahun”.
Abu Abdullah Az-Zubairi mengatakan, bahwa sebaiknya seorang anak diperbolehkan menulis hadis pada saat usia mereka telah mencapai 10 tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna dan ada pula yang menyebutkan pada usia 15 tahu (Yahya bin Ma’in).
Para ulalam ahli hadis kebanyakan tidak menetapkan usia anak yang bertahamul, tetapi lebih mementingkan bagaimana anak itu mampu bertamyiz (ukuran adanya kemampuan menghapal yang didengar dan mengingat hapalannya: Imam Ahmad, ukuran ketamyizan seorang anak bukan berdasarkan usia mereka, tetapi dilihat dari segi apakah ia memahami pembicaraan dan mempu menjawab pertanyaan dengan benar atau tidak).
Mengenai penerimaan hadis oleh orang kafir dan orang fasik keduanya dianggap sah, asalkan hadis tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan telah bertaubat. Alasan ini disandarkan karena banyaknya kejadian orang-orang kafir dan fasik yang masuk agama Islam dan mereka sebelumnya pernah mendengar sabda Rasulullah SAW, seprti Zubair.

2.    Cara Penerimaan Hadis
Para ulama ahli hadis menggolongkan metode penerimaan suatu periwayatan hadis menjadi depalan macam berikut ini:
1.    As-Sima
Yakni penerimaan hadis dengan cara mendengarkan perkataan gurunya, baik dengan cara didiktekan maupun dengan cara lainnya, baik dari hapalannya maupun dari tulisannya.
Cara penerimaan As-Sima merupakan cara yang paling tinggi tingkatannya, apalagi jika dibarengi dengan al-kitabah akan mempunyai nilai lebih tinggi karena terjamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan, dibanding dengan cara-cara lainnya (menurut Jumhur ahli hadis). Kata yang sering muncul pada hadis dengan metode ini adalah “seseorang telah menceritakan kepada kami, saya telah mendengar seseorang, dan seseorang telah berkata kepada kami”.
2.    Al-Qira’ah
Al-Qira’ah ala asy-Syekh atau disebiut juga dengan Al-Arad, yakni penerimaan hadis dengan cara seorang murid membacakan hadis di hadapan gurunya, baik sendiri yang membacakan maupaun orang lain dan dia halnya mendengarkannya baik sang guru hapal maupun tidak.
3.    Al-ijazah
Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan haadis atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya. Namun penerimaan hadis dengan cara ini dianggap bid’ah oleh Ibnu Hazm dan ada juga yang memperbolehkannya dengan syarat bahwa sang guru harus benar-benar mengerti tentang hadis atau kita yang diijazahkan, dan naskah muridnya harus menyamai dengan yang asli sehingga terlihat seperti asli dan gurunya juga harus benar-benar ahli ilmu.
Di dalam penerimaan hadis dengan metode ini ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan untuk diterima, yaitu seperti kata “Aku ijazahkan kepadamu sesuatu yang diriwayatkan untuk kamu riwayatkan, dan “Aku ijazahkan kepadamu ijazahku” (diperbolehkan). Bentuk ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu (dianggap fasid), bentuk ijazah kepada orang yang tidak ada seperti bayi dalam kandungan (dianggap batal)
4.    Al-Munawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan. Bentuk penerimaan ini mempunyai dua bentuk, yaitu dengan memberikan kitab yang telah diriwayatkan, dicocokan naskahnya dan beberapa hadis yang telah ditulis oleh gurunya kepada muridnya untuk diriwayatkan kepada orang lain. Dan muridnya membacakan naskah yang diperoleh dari gurunya dan sang guru mengakui dan mengijazahkan kepada muridnya untuk diriwayatkan darinya.
5.    Al-Mukatabah
Yakni seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadisnya untuk diberikan kepada murid yang ada di hadapannya atau tidak hadri dengan jalan mengirimkan surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.
Metode ini memepunyai dua macam bentuk penerimaan, yaitu  dengan dibarengai dengan ijazah dan dengan tidak dibarengi dengan ijazah. Tidak sedikit dari ulama Syafi’iyah dan ulama ushul menganggap sah periwayatan dengan cara tidak diijazahkan, sedangkan menurut Al-Mawardi dianggap tidak sah.
6.    Al-Ilam
Yakni pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa hadis atau kitab yang dia terima dari seseorang tanpa memebrikan izin kepaad muridnya untuk meriwayatkan hadis tersebut atau tanpa ada perintah untuk meriwayatkannya. Sebagian ulama ahli ushul dan Ash-Shalah menganggap tidak sah, sedangkan kebanyakan ulama ahli hadis, ahli fiqih dan ahli ushul membolehkannya.
7.    Al-Wasiyah
Yakni seorang guru yang meninggalka pesan kepada orang lain ketika ia akan meninggal atau bepergian suapaya diriwayatkan hadis atau kitabnya. Menurut jumhur cara ini dianggap lemah.
8.    Al-Wajadah
Yakni seseorang memperoleh hadis orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadis dengan tidak melalui cara as-sima. al-ijazah atau al-munawalah (tidak diajarkan). Menurut imam safi’I dan pengikutnya memperbolehkan cara ini dan Ibnu Ash-Shalah mengatakan bahwa sebagian ulama muhaqqiqin mewajibkan mengamalkannya bila diyakini kebenarannya.

B.    PERIWAYATAN HADIS
Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa al-ada ialah menyuampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain. Hal ini mempunyai peranan yang sangat penting dan menuntut pertanggungjawaban yang sangat berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadis juga sangat bergantung padanya. Mengingat hal ini maka jumhur ahli hadis, ahli ushul dan ahli fiqig menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadis, yaitu sebagai berikut:
1.    Islam
Pada waktu periwayatan suatu hadis, seorang perawi harus  orang muslim.
2.    Balig
Yang dimaksud dengan balig ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis walaupun penerimaannya itu sebelum balig
3.    Adalah
Yaitu suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang sehingga ia tetap takwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah yang tergolong kurang baik, dan selalu menjaga kepribadiannya.
4.    Dhabit
Teringat terbangkitnya perawi ketika ia mendengar hadis dan memahami apa yang didengarnya serta dihapalnya sejak ia menerima sampai menyampaikan- nya.
Cara untuk mengetahui kedhabitan perawi adalah dengan jalan I’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsiqar dan member keyakinan.

حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيْمَانِ
Cinta tanah air termasuk iman.

Derajat Hadits dan Komentar Ulama:
TIDAK ADA ASALNYA. Berikut ucapan para ulama pakar ahli hadits:
1.    As-Shoghoni berkata: “Termasuk hadits-hadits yang palsu”.
2.    As-Suyuthi berkata: “Saya tidak mendapatinya”.
3.    As-Sakhowi berkata: “Saya tidak mendapatinya”.
4.    Al-Ghozzi berkata: “Ini bukan hadits”.
5.    Az-Zarkasyi: “Saya belum mendapatinya”.
6.    Sayyid Mu’inuddin ash-Shofwi berkata: “Ini bukan hadits”.
7.    Mula al-Qori berkata: “Tidak ada asalnya menurut para pakar ahli hadits”.
8.    Al-Albani berkata: “Maudhu’ (palsu)”.
9.    Lajnah Daimah yang diketahui oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan: “Ucapan ini bukan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia hanyalah ucapan yang beredar di lisan manusia lalu dianggap sebagai hadits.
.
C. MATAN HADITS
Syaikh al-Albani berkata:
“Dan maknanya tidak benar. Sebab cinta negeri sama halnya cinta jiwa dan harta; seseorang tidak terpuji dengan sebab mencintainya lantaran itu sudah tabiat manusia. Bukankah anda melihat bahwa seluruh manusia berperan serta dalam kecintaan ini, baik dia kafir maupun mukmin?
Allah berfirman:
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِاخْرُجُوا مِن دِيَارِكُم مَّافَعَلُوهُ إِلاَّ قَلِيلُُ مِّنْهُمْ
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:”Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka.
(QS. An-Nisa’: 66)
•    Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga mencintai tanah air mereka. Musuh-musuh Islam telah menjadikan hadits palsu ini untuk menghilangkan syi’ar agama dalam masyarakat dan menggantinya dengan syi’ar kebangsaan, padahal aqidah seorang mukmin lebih berharga baginya dari segala apapun”.
•    Berlebih-lebihan terhadap tanah air bisa sampai kepada derajat memberhalakannya.
•    Dan terkadang Syetan menggambarkan kepada sebagian mereka bahwa tanah air lebih baik daripada surga ‘Adn, sebagaimana seorang di antara mereka mengatakan:
هَبْ جَنَّةُ الْخُلْدِ الْيَمَنْ لاَ شَيْئَ يَعْدِلُ الْوَطَنْ
Anggaplah bahwa surga yang kekal adalah Yaman Tidak ada sesuatupun yang melebihi tanah air.
Seorang lainnya mengatakan:
وَطَنِيْ لَوْ شُغِلْتُ بِالْخُلْدِ عَنْهُ نَازَعَتْنِيْ إِلَيْهِ فِي الْخُلْدِ نَفْسِيْ
Tanah airku, seandainya aku disibukkan oleh surga darinya
Niscaya jiwaku akan menggugatku di surga menuju tanah airku.
.
D. SEBAB TERSEBARNYA HADITS
•    Al-Hafizh asy-Syaukani berkata menjelaskan sebab menyebarnya hadits-hadits palsu seperti ini:
•    “Para ahli sejarah telah meremehkan dalam mengutarakan hadits-hadits bathil seputar keutamaan negeri, lebih-lebih negeri mereka sendiri. Mereka sangat meremehkan sekali, sampai-sampai menyebutkan hadits palsu dan tidak memperingatkannya, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Dabi’ dalam Tarikhnya yang berjudul “Qurrotul Uyun bi Akhbaril Yaman Al-Maimun” dan kitab lainnya yang berjudul “Bughyatul Mustafid bi Akhbar Madinah Zabid” padahal beliau termasuk ahli hadits.
•    Maka hendaknya seorang mewaspadai dari keyakinan ini atau meriwayatkannya, karena kedustaan dalam masalah ini sudah menyebar dan melampui batas. Semua itu sebabnya adalah fithrah manusia untuk cintah tanah air dan kampung halamannya”.
.
E. APAKAH CINTA NEGERI TERLARANG?
Al-Ustadz A. Hassan –semoga Allah merahmatinya- berkata: “Tidak ada undang-undang manusia yang tidak terdapat di hukum-hukum agama, larangan atas seorang mencintai bangsanya dan tanah airnya malah tidak terlarang, dia cinta kepada kerbau dan spinya, kambing dan anjingnya, kelinci dan kucingnya, ayam dan bebeknya.
Sekali lagi, agama tidak menghalangi seseorang mencintai segala sesuatu hatta tanah dan pasir di negeri satrunya. Cuma, janganlah dibawa-bawa agama dalam urusan yang agama tidak jadikan urusan. Jangan dibawa-bawa kalimat:
حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيْمَانِ
Cinta tanah air termasuk iman.
Ini dikatakan hadits Nabi, padahal bukan.
•    Kalau orang cinta tanah air membawakan hadits palsu itu, maka orang cinta kucing akan membawakan hadits palsu lain:
حُبُّ الْهِرَّةِ مِنَ الإِيْمَانِ
Cinta kucing itu sebagian dari iman.
.
F. HENDAKNYA UNTUK ISLAM BUKAN SEKADAR KEBANGSAAN
Syaikh Muhammad al-Utsaimin berkata: “Kita apabila perang hanya untuk membela Negara tidak ada bedanya dengan orang kafir yang juga perang untuk membela Negara mereka.
Seorang yang perang hanya untuk membela negeri saja maka dia bukanlah syahid, namun kewajiban kita sebagai muslim dan tinggal di negeri Islam adalah untuk perang karena Islam yang ada di negeri kita. Perhatikanlah baik-baik perbedaan ini, kita berperang karena Islam yang ada di negeri kita. Adapun sekadar karena negeri saja maka ini adalah niat bathil yang tidak berfaedah bagi seorang. Adapun ungkapan yang dianggap hadits “Cinta negeri termasuk keimanan” maka ini adalah dusta.
Cinta Negara, apabila karena Negara tersebut adalah Negara Islam maka kita mencintainya karena Islamnya, tidak ada bedanya apakah Negara kelahiran kita ataukan Negara Islam yang jauh, maka wajib bagi kita untuk membelanya karena Negara Islam. Kesimpulannya, seharusnya kita mengetahui bahwa niat yang benar tatkala perang adalah untuk membela Islam di negeri kita atau membela Negara kita karena Negara Islam, bukan hanya karena sekedar Negara saja”.

Al-Ustadz A. Hassan mengatakan: “Dalam mencintai tanah air secara kebangsaan itu ada beberapa kesalahannya yang besar bagi orang yang beragama Islam:
•    Pertama: yang sebesar-besarnya, ialah menjalankan hukum-hukum yang bukan dari Allah dan RasulNya.
•    Kedua: dengan terpaksa, karena pembawaan kebangsaan, memandang muslim di negerinya yang bukan sebangsa dan setanah air dengannya sebagai orang asing, padahal sebenarnya ia mesti pandang seperti saudara.
•    Ketiga: Memutuskan perhubungan antara lain-lain negeri Islam dengan alasan mereka bukan sebangsa dan setanah air, walaupun Allah dan Rasul telah katakana mereka saudara yang mesti bersatu.
Dari sini, dapat kita ketahui KESALAHAN ucapan sebagian tokoh tatkala mengatakan:
“Kita tidak memerangi Yahudi karena masalah aqidah!!
“Kita memerangi mereka karena tanah!! Kita tidak memerangi karena mereka kafir!!”
“Tetapi kita memerangi karena mereka merampas tanah kita tanpa alasan yang benar!!!”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar